A.
Konsep
Masyarakat Madani
Konsep masyarakat madani ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil
society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam
ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara
festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh
Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah
kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial
yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan
antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Sementara cendekiawan muslim Indonesia Nurcholis Madjid
memandang bahwa masyarakat madani dalam presfektif Islam bukan terjemahan
dari civil society yang karakternya berbeda
dengan masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah di Madinah pasca hijrah. Jadi wacana
masyarakat madani yang dilontarkan oleh Nurcholis Madjid inilah yang mulai
dikenal oleh bangsa kita. Kemudian salah seorang yang sering menggunakan
istilah ini adalah H. Emil Salim, yang sempat mencalonkan diri menjadi Wakil
Presiden RI mendampingi pencalonan B.J.
Habibi. Istilah ini
semakin populer pada
masa lengsernya Soeharto yang digantikan oleh B.J. Habibi. Masyarakat
Madani sangat identik dengan masyarakat kota yang mempunyai perangai dinamis,
sibuk, berfikir logis, berpola hidup praktis, berwawasan luas, dan mencari-cari
terobosan baru demi memperoleh kehidupan yang sejahtera. Perangai
tersebut didukung dengan mental akhlak karimah (budi pekerti yang mulia).
Konsep masyarakat madani merupakan konsep yang
bersifat universal, sehingga perlu adaptasi dan disosialisasikan apabila konsep
ini akan diwujudkan di Indonesia. Apabila konsep ini akan diaktualisasikan
dalam wacana masyarakat Indonesia, diperlukan suatu konsep, perlu ada langkah-langkah yang kontinyu dan
sistematis yang dapat merubah paradigma, kebiasaan dan pola hidup masyarakat
Indonesia. Selain itu, konsep masyarakat madani
merupakan suatu konsep
yang relatif baru
bagi masyarakat Indonesia, bukan perkerjaan mudah, karena terkait dengan
persoalan budaya dan sikap hidup masyarakat. Untuk itu, diperlukan berbagai
terobosan dalam penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata lain
diperlukan suatu paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang
baru. Hal ini sebagaimana pendapat Filsuf Kuhn (Tilaar,1999: 245), "apabila tantangan-tantangan
baru dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, tentu segala usaha yang
dijalankan akan memenuhi kegagalan."
Diakui bahwa pemahaman tentang masyarakat madani di
Indonesia berawal pada konsep masyarakat Madinah
yang dibangun oleh Nabi
Muhammad SAW pasca hijrah. Dunia
mengakuinya sebagai model masyarakat yang paling maju pada saat itu. Masyarakat
Madinah menjadi parameter normative
historis masyarakat madani. Telah melahirkan kesadaran baru pada kaum Anshor
dan Muhajirin tentang kesetaraan, pluralisme, dan toleransi yang dibungkus dan
disatukan dengan agama islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Yang perlu
diingat bahwa Nabi Muhammad SAW menanamkan
nilai-nilai religiositas (dalam hal ini adalah agama islam) kepada masyarakat
madinah secara totalitas. Pemahaman tentang kesetaraan (egalitarian) diwujudkan
dengan mengacu kepada hukum
agama yang terkandung didalam Al-Qur’an dan sunnah. Menempatkan agama sebagai
sumber pada masyarakat madani merupakan suatu
keniscayaan bagi masyarakat Indonesia agar pemaknaan masyarakat madani berbeda
dengan civil society yang berkembang
di barat yang pada akhirnya menimbulkan masyarakat secular dan individual.
Alasan lainya ialah agama, bisa dipahami sebagai wahana pemersatu umat agar
perbedaan-perbedaan yang muncul bisa diminimalisasi menuju pada integritas umat.
B. Karakteristik Masyarakat Madani
Berikut
ini merupakan karakteristik yang ada dalam masyarakat madani antara lain:
1. Free public sphere
(ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap
setiap kegiatan publik, misalnya berhak dalam menyampaikan pendapat,
berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
2. Demokratisasi,
yaitu proses dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya
dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Untuk
menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa
kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk
berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari
orang lain.
3. Toleransi,
yaitu sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang
dilakukan oleh orang/kelompok lain.
4. Pluralisme,
yaitu keadaan masyarakat yang majemuk, berupa keanekaragaman dalam masyarakat,
sehingga kita harus mempunyai sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat
yang majemuk disertai dengan sikap tulus
dan menerima kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan
Yang Maha Kuasa.
5. Keadilan sosial (social justice),
yaitu keseimbangan antara hak dan
kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
6. Partisipasi sosial,
yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi,
ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan
dan kemandirian yang bertanggungjawab.
7. Supremasi hukum,
yaitu taat dan patuh terhadap hukum yang sedang berlaku yang merupakan salah
satu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan.
8. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ke
dalam masyarakat melalui kontrak sosial dan
sebagainya.
9. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan
yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan
alternatif.
10. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi
oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
11. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan
negara karena keanggotaan organisasi-organisasi mampu memberikan
masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
12. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat
oleh rejim-rejim totaliter.
13. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust)
sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak
mementingkan diri sendiri.
14. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga
sosial dengan berbagai ragam perspektif.
15. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah
masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum
Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
16. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik
secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
17. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu
lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
18. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut
memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu
pengetahuan untuk umat manusia.
19. Berakhlak mulia.
C.
Peranan
Umat Islam dalam
Mewujudkan Masyarakat Madani
Salah satu jalan peran umat islam mewujudkan
masyarakat madani adalah meningkatkan SDM kaum muslimin dengan jalur pendidikan
(mempunyai lembaga pendidikan unggulan).Kita semua prihatin dengan adanya tanda
bahwa lembaga pendidikan islam masih ketinggalan baik sitem maupun output yang
dihasilkannya. Mulai abad XIV sampai sekarang masih sangat kecil sumber daya
manusia (muslim) yang menguasai IPTEK.
Terjadinya kemunduran tersebut disebabkan oleh
adanya penerapan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan islam yang
dikotomi, pemisahan antara ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Lahirnya pemikiran
tersebut sangat berpengaruh pada pelaksanaan pendidikan di lembaga-lembaga
pendidikan islam sampai sekarang.
Sehingga ada beberapa kalangan munculnya gagasan
perlunya islamisasi ilmu umum. Padahal menurut Al-Qur’an semua ilmu itu islam,
sebagaimana firman Allah : dalam QS. Al-Mujadalah:11, QS. Ar-Ra’d:3-4, QS
Yunus:10 dan QS, Ali Imran:190-191.
Q.S.
Al Mujadalah : 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ
لَكُمْ وَإِذَا
قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
(11)
Artinya :
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah
dalam majlis”,
maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: “Berdirilah
kamu”,
maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Secara kongkrit umat islam Indonesia memang belum
memiliki kualitas SDM yang unggul, sehingga belum mampu menunjukkan peranannya
yang signifikan dan proposional dalam mewujudkan masyarakat madani yang
diciptakan namun upaya ini terus dilakukan secara maksimal sampai cita-cita
tersebut terwujud.
Dalam sejarah
Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada
masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang
kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan
kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan
terunggul.
Nama-nama ilmuwan
besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam
al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain. Oleh karena itu dalam menghadapi perkembangan dan
perubahan zaman pemberdayaan masyarakat madani perlu ditekankan, antara lain
melalui peranannya:
1.
Sebagai
pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan.
2.
Sebagai advokasi bagi masyarakat yang
tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan mereka (masyarakat yang terkena
pengangguran, kelompok buruh yang digaji atau di PHK secara sepihak dan
lain-lain).
3.
Sebagai kontrol terhadap negara.
4.
Menjadi kelompok kepentingan (interest
group) atau kelompok penekan (pressure group).
5.
Masyarakat madani pada dasarnya
merupakan suatu ruang yang terletak antara negara di satu pihak dan masyarakat
di pihak lain. Dalam ruang lingkup tersebut terdapat sosialisasi warga masyarakat yang
bersifat sukarela dan terbangun dari sebuah jaringan hubungan di antara
assosiasi tersebut, misalnya berupa perjanjian, koperasi, kalangan bisnis,
Rukun Warga, Rukun Tetangga, dan bentuk organisasi-organsasilainnya.
Dalam Q.S. Ali
Imran ayat 110 dijelaskan sumber daya
manusia umat islam yang memang terbaik:
Artinya:
“Kamu adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari
yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah
itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Dari ayat tersebut
sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat
Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah
ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan umat
islam yang mempunyai peluang yang sangat besar untuk dapat mewujudkan
masyarakat madani itu sendiri.
Sumber daya manusia umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas
yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik,
ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan
perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%,
tetapi karena kualitas sumber daya manusianya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang
proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam.
Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam,
bahkan ada
pula tokoh-tokoh Islam yang
belum mencerminkan akhlak Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar